Minggu, 29 April 2018

Materi BAB III "TA'AWUN DALAM ISLAM"


A. Pinjam Meminjam
Pinjam meminjam mengandung pengertian memanfaatkan barang atau uang untuk sementara waktu. Dalam istilah Islam dinamakan ‘Āriyah

Pinjam-meminjam dalam kehidupan bermasyarakat adalah hal yang biasa dilakukan. Hal itu terjadi karena manusia saling membutuhkan untuk memenuhi hajat kehidupannya. Oleh karenanya Agama Islam memberikan aturan-aturan dalam pelaksanaan pinjam-meminjam, baik dasar hukumnya, syarat rukunnya, maupun hak dan kewajiban bagi orang yang terlibat dalam pinjam meminjam.

1.  Hukum Pinjam Meminjam
Dalam Q.S. Al-Maidah ayat 2 di atas menjelaskan tentang perintah tolong menolong dalam urusan kebaikan. Salah satu bentuk tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat adalah pinjammeminjam. Jadi pada dasarnya hukum asal pinjam meminjam adalah Mubah (boleh).
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2).


Hukum pinjam meminjam bisa berubah sesuai dengan alasan yang melatar belakanginya, yakni :
a.  Mubah, maknanya boleh, sesuai hukum asal dari pinjam-meminjam.
b.  Sunnah, maknanya ada nilai kebaikan apabila praktik pinjam meminjam dilakukan. Misalnya: meminjami mobil untuk mengantar tetangga yang sedang sakit ke Rumah Sakit.
c.  Wajib, maknanya ada keharusan dalam pelaksanaan pinjam meminjam, Sebagai contoh : Dalam kondisi keuangan yang cukup bahkan berlebih, kita memberi pinjaman uang kepada tetangga yang sangat membutuhkan untuk pengobatan. Pada saat itu kondisi tetangga yang sakit harus di lakukan operasi untuk menolong jiwanya.
d.  Haram, maknanya dihukumi dosa bila terjadi akad pinjam meminjam. Misalnya : memberikan pinjaman kepada orang untuk berjudi, minum minuman keras, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dilarang agama.

2.  Rukun Pinjam Meminjam
Maksud rukun di sini adalah hal-hal yang harus ada dalam pelaksanaan pinjam meminjam. Apabila tidak terpenuhi salah satu atau beberapa rukunnya maka di anggap tidak sah. Rukun pinjam meminjam ada 5 Lima, yaitu :
a.  Mu’’īr atau orang yang meminjami
b.  Musta’’īr atau orang yang meminjam
c.  Musta’ār atau barang yang di pinjam
d.  Batas waktu
e.  Ijab Qabul atau ucapan / keterangan dari kedua belah pihak.

3.  Syarat Pinjam Meminjam
Maksud dari Syarat adalah hal-hal yang harus ada sebelum kegiatan pinjam meminjam dilaksanakan. Adapun Syarat-syarat pinjam meminjam adalah :
a.  Syarat bagi orang yang meminjami
1). Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi
2). Barang yang dipinjamkan milik sendiri ataupun barang tersebut menjadi tanggung jawabnya
b.  Syarat Bagi Orang yang meminjam
1). Mampu berbuat kebaikan atau mengambil manfaat barang yang dipinjam
2). Mampu menjaga barang yang dipinjam dengan baik.
c.  Syarat Barang yang dipinjam
1). Ada manfaatnya
2). Bersifat tetap, tidak berkurang atau habis ketika diambil manfaatnya

4.  Beberapa Catatan penting dalam pinjam meminjam.
Untuk menjaga hubungan baik antara peminjam dan yang meminjami, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini :
a.  Barang yang dipinjam selayaknya untuk di manfaatkan sebaik-baiknya dan tidak melanggar aturan agama
b.  Peminjam hendaknya tidak melampaui batas dari sesuatu yang di persyaratkan orang yang meminjamkan
c.  Peminjam merawat barang pinjamannya dengan baik, sehingga tidak rusak. Sebagaimana Hadits Nabi Muhammad Saw. :
 “Dari Samurah, Nabi Muhammad Saw. bersabda : tanggung jawab barang yang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu.” (H.R. al-Khomsah kecuali An Nasai)
d.  Peminjam harus mengembalikan pinjamannya sesuai waktu yang telah di sepakati
e.  Apabila peminjam dalam waktu yang sudah disepakati belum dapat mengembalikan, maka harus memberitahukan dan meminta ijin kepada yang meminjamkan.
f.  Hendaknya Orang yang meminjami memberi kelonggaran waktu kepada peminjam, apabila peminjam melebihi batas waktu yang telah ditentukan.

B. Utang Piutang
Utang piutang adalah salah satu bentuk kerjasama atau tolong menolong dalam kehidupan manusia. Dalam pembahasan sebelumnya, Ananda telah mempelajari tentang pinjam meminjam. Antara pinjam meminjam dengan utang piutang objeknya sama yaitu dapat berupa barang atau uang, perbedaanya adalah, kalau kegiatan pinjam meminjam harus mengembalikan barang pinjaman pada batas waktu yang telah ditentukan. Sedangkan dalam kegiatan utang piutang jika utang tersebut dalam bentuk pembelian barang, maka dapat menjadi milik pribadi (penghutang) secara penuh, apabila hutang telah lunas, misalnya hutang mobil, rumah atau barang lainya.Dalam pembahasan utang piutang, Ananda akan mendapatkan penjelasan hukum utang piutang, ketentuan utang piutang, dan Praktik utang piutang dalam Lembaga Keuangan Syariah (Bank Umum Syariah atau BPR syariah, Koperasi Syariah dan BMT)
1.  Hukum utang piutang
Hukum utang piutang pada asalnya adalah mubah atau boleh, namun bisa berubah menjadi sunah, wajib, atau haram tergantung dari latar belakang alasan yang mendasarinya. Lebih lanjut penjelasanya sebagai berikut :
a.  Mubah atau boleh, sebagaimana hukum asal dari utang piutang
b.  Sunah, apabila orang yang berhutang dalam keadaan terpaksa. Misalnya, utang makanan pokok demi untuk memberi makan keluarganya
c.  Wajib, apabila pemberi hutang mendapati orang yang sangat membutuhkan bantuan, misalnya member hutangan kepada orang yang membutuhkan untuk operasi demi kesembuhan dari suatu penyakit, sementara yang berhutang tidak ada yang menolong
d.  Haram, apabila orang yang memberi hutang mengetahui penggunaan utang untuk hal-hal yang dilarang agama, misalnya utang untuk membeli minum minuman keras, judi atau lainya.

Dasar hukum yang digunakan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2dan hadits Nabi Muhammad Saw., di bawah ini :


 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2).

 “Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada muslim (yang lain) dua kalipinjaman kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali”. (HR. Ibnu Majah)

2.  Ketentuan utang piutang
Dalam kehidupan bermasyarakat, sering terjadi pertikaian antar warga. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman mereka tentang ketentuan utang piutang menurut Islam. Untuk menghindari perselisihan yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.  Hutang piutang lebih baik ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah Swt., Q.S.. Al-Baqarah : 282 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muaamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu”
b.  Pemberi hutang tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
 “Setiap hutang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi pemberi hutang), maka hukumnya riba”.
c.  Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Swt. akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya), maka Allah Swt. akan membinasakannya”. (HR. Bukhari)
d.  Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.
e.  Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan,
 hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman. Hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak pemberi hutang.
f.  Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin apabila ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya. Sebab orang yang menundamenunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari Muslim)
g.  Memberikan penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.Allah Swt. berfirman:
 “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai  dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S.. Al-Baqarah: 280).

3.  Utang piutang dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di samping sebagai lembaga komersial (mencari keuntungan), juga berperan sebagai lembaga sosial (tidak mencari keuntungan). Bentuk peran LKS sebagai lembaga sosialnya diantaranya Qarḍ al-Hasanyaitu melayani utang piutang tanpa mengambil bagi hasil keuntungan.
LKS sebagai lembaga komersial melayani utang piutang dengan akad di antaranya :
a.  Muḍarabah,yaitu kerjasama mitra usaha dan investasi
b.  Murabaḥah,yaitu jual beli dengan menyatakan harga pokok dan keuntungan
c.  Musyarakah, yaitu kerjasama modal usaha
d.  Iṡtisna’,yaitu jual beli berdasarkan pesanan
e.  Rahn (Gadai), yaitu penyerahan barang yang dilakukan oleh penghutang sebagai jaminan atas hutangnya.
f.  Dll

LKS sebagai lembaga sosial melayani utang piutang dengan akad Qardh Al Hasan(pinjaman kebajikan). Prinsip utang piutang dalam sitemQardh Al Hasan yakni : suatu akad hutang kepada nasabah dengan ketentuan hanya mengembalikan pokok hutang, tanpa adanya penambahan bagi hasil keuntungan

a.  Ketentuan umum Qarḍ al-Hasan
1). Pinjaman diberikan kepada nasabah yang sangat memerlukan
2). Nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima sesuai batas waktu yang telah dipakati
3). Biaya adminitrasi dapat dibebankan kepada nasabah
4). LKS dapat meminta jaminan/agunan apabila dipandang perlu
5). Nasabah dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela selama tidak diperjanjikan dalam akad
6). Apabila sampai batas waktu nasabah tidak dapat mengembalikan hutangnya dan LKS telahmemastikan ketitak mampuanya, maka LKS dapat :pertama memperpanjan jangka waktu pengembalianya, kedua menghapus sebagian atau seluruh kewajiban nasabah.

b.  Sumber dana Qarḍ al-Hasan:
1). bagian modal LKS
2). keuntungan LKS yang disisihkan
3). lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS


C. GADAI
1.  Pengertian Gadai
Gadai dalam bahasa Arab disebut al-Rahn artinya penyerahan barang yang dilakukan oleh orang yang berhutang sebagai jamiman atas hutang yang telah diterimanya. Hal ini dimaksudkan agar pemberi hutang memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya, apabila peminjam tidak mampu membayar hutangnya.Sebagai contoh, A memiliki hutang kepada B sebesar Rp. 1.000.000,- .Dengan jaminan perhiasan dengan nilai taksir jual Rp. 2.000.000,- . Sampai batas waktu yang telah ditentukan, si A tidak dapat melunasi hutangnya, kemudian dilakukandilelang secara syariah,dan perhiasan tersebut terjual Rp. 1.750.000 makasi B hanya mengambil sejumlah hutang dan kewajiban lainya, sisanya dikembalikan kepada si A.

2.  Hukum Gadai
Hukum asal gadai adalah mubah atau diperbolehkan, hal ini berdasarkan dalil al-Qur’an dan AlHadis, serta Ijma ulama, yaitu:
a.  Al-Qur’an:


“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang dipegang (oleh yang berpiutang), ……” (Q.S.. Al-Baqarah: 283) Al-Hadits:

Aisyah ra, berkata: “Rasulullah Saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi. (HR. Bukhari Muslim)

b.  Ijma’ Ulama
Para ulama sepakat membolehkan akad rahn, hal ini tertuang dalam kitab
1). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhukarya Al Zuhailijilid 5 hal 181,
2). Al-Mughni karyaIbnu qudamah, jilid 4 hal 367, dikatakan mengenai dalil ijma’ ,bahwa umat Islam sepakat bahwa secara garis besar akad rahn(gadai) diperbolehkan,
3). Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI (Majelis Ulama Indonesia) No. 25/DSN-MUI/III/2002

c.  Kaidah Fiqih
“Pada dasarnya segala bentuk mumalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkanya”

3.  Rukun dan Syarat Gadai
a.  Rukun gadai ada empat, yaitu:
1). Barang yang digadaikan(marhun)
2). Hutangnya (marhun bih)
3). Ucapan serah terima(Ṣigat ijab dan qabul)
4). Dua orang yang melakukan akad ar-Rahn (‘aqidaan)
b.  Syarat gadai:
1). Syarat yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd(kemampuan mengatur)
2). Syarat yang berhubungan dengan Marhun(barang gadai) ada tiga:
a)  Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
b)  Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
c)  Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
3). Syarat berhubungan dengan Marhun bihi(hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.

4.  Ketentuan Umum Dalam Gadai
Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:
a.  Barang yang Dapat Digadaikan.
Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
b.  Barang Gadai Adalah Amanah.
Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, dia hanya diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak, misalnya jika pemilik uang khawatir uangnya tidak atau sulit untuk dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan dia pinjam. Karenanya jika dia telah membayar utangnya maka barang tersebut kembali ke tangannya.
c.  Barang Gadai Dipegang Pemberi utang.
Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana  firman Allah:  “Jika  kamu  dalam  perjalanan  (dan  bermu’amalah  tidak  secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Q.S.. Al-Baqarah: 283).

5.  Pemanfaatan Barang Gadai
Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang. Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi utang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut. Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan.

6.  Biaya Perawatan Barang Gadai
Jika barang gadai butuh biaya perawatan misalnya hewan perahan, hewan tunggangan, dan budak (sebagaimana dalam As-sunnah) maka:
a.  Jika dia dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
b.  Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.

7.  Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Apabila pelunasan utang telah jatuh tempo, maka orang yang berutang berkewajiban melunasi utangnya sesuai denga waktu yang telah disepakatinya dengan pemberi utang. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya

8.  Manfaat Gadai
Manfaat gadai (Rahn) bagi orang yang menggadaikan (ar-Rãhin) adalah, pertamadapat memperoleh sesuatu yang diinginkan dengan cepat.Kedua, tidak kehilangan kepemilikan barang yang digadaikannya.Manfaat gadai (Rahn) bagi penerima gadai (Al-Murtahin) adalah menghindari kemungkinan penggadai (ar-Rãhin) melalaikan kewajibannya. Manfaat gadai bagi kedua belah pihak (al-‘aqidan) adalah saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhannya.

D. UPAH
1.  Pengertian upah
Upah dalam bahasa Arab disebut dengan Ujrah. Upah dalam hukum agama adalah pemberian sesuatu sebagai imbalan dari jerih payah seseorang dalam bentuk imbalan di dunia dan dalam bentuk imbalan di akhirat. Berbeda sekali pengertian upah dalam istilah barat, yaitu Gaji biasa atau minimum yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, oleh pengusaha kepada pekerja hanya dalam kaitan dengan hubungan kerja, tidak mempunyai keterkaitan erat antara upah dengan moral, dan tidak memiliki dimensi dunia dan akhirat.Upah yang diberikan hendaknya berdasarkan tingkat kebutuhan dan taraf kesejahteraan masyarakat setempat. Hadits Nabi Muhammad Saw. :
 “Berikanlah kepada buruh upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)Dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa agama Islam itu sangat memperhatikan hak pekerja atau buruh. Pembahasan masalah upah ini, meliputi pengertian upah, hukum upah, rukun dan syarat upah, keutamaan membayar upah, hikmah upah. Pada masa khalifah Umar R.a. gaji pegawai disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat setempat.

2.  Hukum Upah
Pemberian upah hukumnya mubah, tetapi bila hal itu sudah menyangkut hak seseorang sebagai mata pencaharian berarti wajib. Sebagai karyawan/pegawai adalah pemegang amanah majikan/pemilik perusahaan, maka ia wajib untuk mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baiknya.Allah Swt. Berfirman :


 “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. (Q.S. Al baqarah: 233)
Sabda Nabi Muhammad Saw. :


”Hadist dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas  r.a dia berkata bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. (H.R. Bukhari)

Upah merupakan hak pekerja yang harus dibayarkan sesuai dengan jenis pekerjaannya. Menundanunda pembayaran upah tidak dibenarkan dalam ajaran Islam, sebab termasuk perbuatan aniaya. Nabi Muhammad Saw. bersabda:
 “Tiga orang (tiga golongan) yang aku musuhi nanti pada hari kiamat, yaitu (1) orang yang memberi kepadaku kemudian menarik kembali, (2) orang yang menjual orang merdeka kemudian makan harganya (3) orang yang mengupahkan dan telah selesai, tetapi tidak memberikan upahnya.” (HR. Bukhari)

3.  Rukun dan Syarat Upah-Mengupah
a.  Pengupah dan pihak pekerja (Mu’jirdan Musta’jir), syaratnya
1). Berakal dan mummayiz,namun tidak disyaratkan baligh. Maka tidak dibenarkan mempekerjakan orang gila, anak-anak yang belum mumayizdan tidak berakal
2). Ada kerelaan dari keduanya. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah
3). Cakap atau kompeten (memliki kemampuan)
b.  Ṣigat(Ijab Qabul)
Adanya kesepakatan kedua belah pihak antara pengupah dan pekerja (kontrak).
c.  Upah atau Imbalan
Yaitu uang atau lainnya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu. Pembayaran upah ini boleh berupa uang dan boleh berupa benda, dan diisyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, sesuai dengan perjanjian.
d.  Adanya Kemanfaatan
Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas seperti mengerjakan pekerjaan proyek, membajak Saw.ah dan sebagainya. Sebelum melakukan sebuah akad ijarah hendaknya manfaat yang akan menjadi objek ijarah harus diketahui secara jelas agar terhindar dari perselisihan dikemudian hari baik jenis, sifat barang yang akan disewakan ataupun pekerjaan yang akan dilakukan

4.  Keutamaan Membayar Upah
Secara umum, pemberian/penyerahan upah dilakukan seketika pekerjaan itu selesai. Sama halnya dengan jual beli yang pembayarannya pada waktu itu juga, tetapi pada waktu membuat surat perjanjian boleh dibicarakan dan diputuskan untuk mendahulukan pembayaran upah atau mengakhirkannya. Jadi pembayaran upah itu disesuaikan dengan bunyi surat perjanjian pada saat akan melaksanakan akad upah mengupah.
Namun demikian, memberikan upah lebih dahulu adalah lebih baik, dalam rangka membina saling pengertian percaya mempercayai. Lebih-lebih apabila upah mengupah itu antara majikan dan karyawan yang pada umumnya sangat memerlukan uang untuk kebutuhan biaya makan keluarga dan dirinya sehari-hari. Yang paling penting adalah agar kedua belah pihak mematuhi perjanjian yang telah disetujui dan ditanda tangani bersama. Karyawan atau buruh hendaknya mematuhi ketentuan dalam perjanjian, baik perjanjian itu tertulis atau perjanjian lisan. Majikan wajib pula memberikan upah sebagaimana yang telah ditentukan.
Hadits Nabi Muhammad Saw. :
 “Berikanlah kepada buruh upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)

5.  Hikmah Disyariatkan Upah
Tujuan dibolehkan ujrah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Adapun hikmah diadakannya ujrah antara lain:
a.  Membina ketentraman dan kebahagiaan
Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerja sama antaramu’jirdan mus’tajir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi maka musta’jirtidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah.Dengan transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman.
b.  Memenuhi nafkah keluarga
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jirmaka kewajiban tersebut dapat dipenuhi. Allah Swt. berfirman:
”Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf”. (al-Baqarah: 233)
c.  Memenuhi hajat hidup masyarakat
Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarkat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ujrahmerupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.
d.  Menolak kemungkaran
Di antara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh yang menganggur. Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Media Pembelajaran Hukum Waris BAB IV

Postingan Populer